Friday, November 4, 2011

PENATAAN RUANG, SOLUSI ATASI KONFLIK PEMANFAATAN RUANG


Konflik pemanfaatan ruang, khususnya tumpang-tindih penggunaan lahan merupakan masalah yang kerap terjadi. Seperti konflik pertambangan dan kehutanan. Untuk mengatasinya, Penataan Ruang harus mampu mensinergikan berbagai kepentingan dalam ruang yang bersifat terbatas.
Demikian disampaikan Direktur Penataan Ruang Wilayah I, Bahal Edison Naiborhu mewakili Dirjen Penataan Ruang, Imam S. Ernawi dalam Diskusi Panel Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Wilayah Pertambangan, di Jakarta (20/8).
Sektor pertambangan merupakan sektor pembangunan penting di Indonesia. Namun, dari segi lingkungan hidup, pertambangan juga dianggap sebagai kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang “merusak”, karena dapat mengubah bentang alam, merusak vegetasi dan menghasilkan limbah. “Oleh karena itu, Penataan Ruang harus bersifat netral dalam memberi matra spasial pembangunan, untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan,“ tegas Edison.
Seminar yang dihadiri oleh anggota lima asosiasi bidang geologi dan pertambangan, yaitu IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), MGEI (Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia), PERHAPI (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia), IMA (Indonesia Mining Association), APBI (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia) ini bertujuan untuk menjaring masukan bagi RPP tentang Wilayah Pertambangan.
Ketua IMA mengatakan, Wilayah Pertambangan (WP) merupakan hal penting bagi kelangsungan industri pertambangan. Namun, konflik muncul ketika WP bersinggungan dengan Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) dan Undang-Undang Kehutanan. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara kedua UU tersebut dengan UU Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dirjen Planologi Kehutanan Sutrisno menjelaskan, berdasarkan fungsi pokoknya, hutan ditetapkan sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung, dengan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Terkait kegiatan pertambangan, penggunaan kawasan hutan harus dilakukan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu serta kelestarian lingkungan. “Penambangan terbuka dilarang dilakukan di hutan lindung,” imbuh Sutrisno.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), R. Sukhyar mengemukakan harapannya agar penataan ruang dapat menjembatani berbagai kepentingan. “Multiple use dalam ruang dapat dilakukan sebagai upaya solusi optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam”, imbuh Sukhyar.
Menurut Sukhyar, Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan dan Wilayah Pencadangan Negara seharusnya boleh berada pada Kawasan Lindung maupun Kawasan Budidaya. Pihaknya juga berharap agar konversi lahan dapat dilakukan pada Kawasan Lindung dengan mempertimbangkan risk and benefit analysis.
Menyorot dari sisi hukum, Kepala Bagian Hukum dan Perundangan-undangan Ditjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi Departemen ESDM, Fadli Ibrahim mengatakan, Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara banyak bersinggungan dengan UUPR. Pihaknya berharap, kegiatan pertambangan dapat berjalan tanpa melanggar UU Kehutanan dan UUPR.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Heriyadi Rahmat dalam kesempatan yang sama memaparkan kasus-kasus konflik pemanfaatan yang dihadapi NTB dalam implementasi UUPR No. 26 Tahun 2007 dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Heriyadi juga mengeluhkan masalah pertambangan tanpa izin (PETI) yang masih marak terjadi di NTB. Salah satunya karena adanya larangan untuk penambangan golongan A dan golongan B di Pulau Lombok, sebagaimana diamanatkan dalam Perda NTB No. 11 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW. Pihaknya berharap, RTRW dapat mengakomodir semua kepentingan sektoral, termasuk pertambangan dalam bentuk zonasi yang paling optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Edison menegaskan, RTRW merupakan hasil konsensus yang harus dipatuhi oleh semua sektor, agar konflik pemanfaatan ruang tidak terjadi. Zonasi peruntukan lahan diatur dalam RTRW, sementara peraturan sektoral sebaiknya hanya mengatur manajemen dan pengelolaannya, tandas Edison. 
Sumber : www.pu.go.id 

Semarang Ambles (Land Subsidence)

Amblesan Tanah (Land Subsidence) Semarang
Akibat Pengambilan Air Tanah


Dataran Semarang bawah merupakan endapan alluvial muda yang cukup tebal (40 – 45 meter) dengan permeabilitas rendah. Proses penurunan tanah masih berlangsung terus, baik akibat proses konsolidasi lapisan alluvial maupun amblesan akibat penyedotan air bawah tanah yang berlebihan.  Gambar berikut memperlihatkan hasil simulasi amblesan tanah kota Semarang pada tahun 2002.
Peta Amblesan Muka Tanah Kota Semarang
Beberapa studi menunjukkan bahwa pengambilan air bawah tanah yang berlebihan dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya penurunan tanah di kota Semarang. Hasil studi ITB (1995) melalui simulasi komputer menyimpulkan bahwa laju penurunan tanah dari tahun 1985 sampai 2002 diperkirakan berkisar antara 0,5 sampai 1,6 cm/tahun, dengan sebaran 1,0 cm/tahun di STM Perkapalan, 0,9 cm/tahun di Simpang Lima, 1,6 cm/tahun di Tambaklorok, 0,7 cm/tahun di P3B Pelayaran, 0,5 cm/tahun di Jomblang, dan 0,9 cm/tahun di Kaligawe.
Sementara, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh JICA (1997) menyimpulkan bahwa penurunan muka tanah sepanjang Jl. Siliwangi (Semarang-Kendal), Jl. Kaligawe (Semarang - Demak) dan dekat Tugu Muda diperkirakan berturut-turut sebesar 0,0; 7,0 dan 1,4 cm per tahun.  Kawasan sepanjang Kaligawe mengalami laju penurunan yang paling parah, karena pada kawasan tersebut terjadi pengambilan air bawah tanah yang besar oleh hampir semua pabrik dan industri.
Di kawasan Tanah Mas terdapat 20 buah sumur dalam dan telah beroperasi sejak 1980.  Walaupun kawasan Tanah Mas telah terjangkau layanan PDAM, namun pada umumnya masyarakat hanya menggunakan air PDAM untuk air minum. Sementara untuk keperluan mandi, cuci, dan lainnya menggunakan air bawah tanah, yang diambil dari kedalaman 90 sampai 100 meter.
Kondisi dataran Semarang yang demikian membawa konsekuensi sistem penanggulangan banjir tidak lancar, sehingga penyakit banjir makin hari bukannya sembuh, tapi malah cenderung makin parah. Tidak teratasinya banjir di Semarang bawah mengakibatkan perkembangan kota lebih banyak bergeser ke Semarang atas. Kawasan ini yang mustinya berfungsi sebagai kawasan lindung dan/atau daerah resapan, telah banyak berubah menjadi daerah permukiman dan industri. Dampaknya sudah kita rasakan bersama, berupa banjir yang makin besar, disertai kandungan lumpur yang cukup tinggi.

Semarang Land Subsidence dalam RTRW Kota Semarang

Dari 8 kecamatan (Gayamsari, Genuk, Pedurungan, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Barat, Semarang Utara) yang mengalami penurunan permukaan tanah di Kota Semarang, 5 diantaranya terletak di wilayah pesisir Kota Semarang. Hal ini tentu saja merupakan permasalahan yang cukup krusial bagi pengembangan wilayah pesisir Kota Semarang karena terkendala permasalahan tersebut. 5 kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Genuk, Kecamatan Semarang Timur, Kecamatan Semarang Barat, dan Kecamatan Semarang Utara. 
Kondisi penurunan permukaan tanah di wilayah pesisir Kota Semarang tersebut dikarenakan bagian bawah tersusun oleh aluvium muda dengan kompresibilitas tanah yang tinggi sehingga masih mengalami proses pemampatan secara alami akibat beban lapisan tanah yang ada di atasnya, disamping itu akibat adanya gangguan dari aktivitas manusia, proses pemampatan tanah ini akan dipercepat yang mengakibatkan terjadinya amblesan tanah (Murdohardono, 2006). 
Akibat semakin meluasnya amblesan tanah akan mengakibatkan perluasan daerah yang terkena rob. Selain itu pula dampak dari permasalahan ini yakni biaya perawatan dari infrastruktur perkotaan akan sangat mahal karena akan terjadi berbagai kerusakan baik berasal dari bahaya rob maupun amblesan tanah itu sendiri.
evo

Tanah Ambles Akan Jadi Momok Warga Semarang

Masalah tanah ambles yang terjadi di wilayah Kota Semarang terutama sisi utara merupakan isu yang terlupakan. Tanpa ada tindakan disertai kebijakan apa pun, lambat laun bangunan di Semarang akan berlomba-lomba dengan air yang selalu meninggi.
Pemkot Semarang perlu segera mengkonsep kembali upaya penyelamatan muka tanah. Secara tegas pakar hidrologi Undip Dr Nelwan menyatakan penyelamatan muka tanah harus dilakukan mulai sekarang. "Saya yang tinggal di Tanah Mas merasakan betul, tiap tahun air selalu naik. Warga pun berlomba-lomba menaikkan rumahnya. Makanya penanganan ini harus secara komprehensif, tidak sepotong-potong dengan mengandalkan pembuatan saluran semata. Tidak ada fungsinya buat saluran, kalaupun penampang tanahnya turun," tandas dia, Selasa (22/11).
Ia pun mengaku masalah isu penurunan tanah sudah pernah dilontarkan 10 tahun lalu saat Wali Kota Semarang dijabat Sukawi Sutarip. Namun sampai sekarang ini tidak ada sebuah kebijakan yang tegas dalam penanganannya.
Beberapa kasus amblesan tanah pernah terjadi seperti di Kampung Ujung Seng, Bandarharjo, Semarang Utara.
Kebijakan yang dimaksudkannya itu adalah membatasi izin air bawah tanah (ABT). Secara data, amblesan tanah terparah di kawasan Simpanglima mencapai 10 cm/tahun.
Hal itu dibuktikan dengan adanya peninggian jalan yang dilakukan tiap tahun oleh pemkot. "Berapa hotel dan pusat perbelanjaan yang ada di sana mengambil ABT, mengakibatkan kawasan Simpanglima jadi turun," ungkapnya.
Nelwan meminta supaya Pemkot untuk menghentikan izin-izin ABT. "Bagi saya ABT faktor penentu amblesnya tanah. Dengan jenis tanah alluvial, kalau air di bawahnya diambil maka tanah itu akan turun," tandas dia.
( Dicky Priyanto / CN32 / JBSM )

Wali Kota Larang ABT


Wali Kota semarang melarang izin air bawah tanah selama suatu wilayah memiliki jaringan PDAM. Hal itu untuk mengatasi masalah tanah ambles.
Tanah ambles, terutama di sisi utara Kota Semarang, merupakan isu yang terlupakan. Tanpa tindakan disertai kebijakan apa pun, lambat laun bangunan di Semarang akan berlomba-lomba lebih tinggi dibanding air.
Padahal genangan pun bertambah tahun juga bertambah tinggi. Pemkot perlu segera mengonsep kembali upaya penyelamatan muka tanah.
Pakar hidrologi Undip Dr Nelwan menyatakan penyelamatan muka tanah harus dilakukan mulai sekarang.
”Saya yang tinggal di Tanah Mas merasakan betul, tiap tahun air selalu naik. Warga berlomba-lomba menaikkan rumah. Makanya penanganan harus komprehensif, tidak sepotong-potong dengan mengandalkan pembuatan saluran semata. Tidak ada fungsinya saluran kalau penampang tanah turun,” tandas dia, Selasa (22/11).

Pernah Dilontarkan
Masalah isu penurunan tanah, menurut dia, pernah dilontarkan 10 tahun lalu saat Wali Kota Semarang dijabat Sukawi Sutarip.
Namun sampai sekarang tidak ada kebijakan tegas dalam penanganannya. Beberapa kasus amblesan tanah pernah terjadi seperti di Kampung Ujung Seng, Bandarharjo, Semarang Utara.
Kebijakan yang dimaksudkannya itu adalah membatasi izin air bawah tanah (ABT). Secara data, amblesan tanah terparah di kawasan Simpanglima mencapai 10 cm/tahun. Hal itu dibuktikan dengan peninggian jalan tiap tahun oleh Pemkot.
”Berapa hotel dan pusat perbelanjaan yang ada di sana mengambil ABT, mengakibatkan kawasan Simpanglima jadi turun,” ungkapnya.
Dia meminta Pemkot menghentikan izin-izin ABT. ”Bagi saya ABT faktor penentu amblesnya tanah. Dengan jenis tanah alluvial, kalau air di bawahnya diambil maka tanah itu akan turun,” tandas dia.
Wali Kota Soemarmo HS menyatakan, izin-izin ABT tidak akan diberikan sepanjang kawasan itu ada aliran PDAM. Ia mengakui, sebelumnya izin pengambilan air itu dikoordinasikan oleh Pemprov Jateng, sehingga pemkot tidak memiliki wewenang menindak atau mengawasinya.
”Dengan diserahkannya izin itu kepada daerah, saya tegaskan jangan ada izin ABT selama ada saluran pipa PDAM. Masalah land subsidance itu tidak hanya terjadi di Kota Semarang saja, Jakarta pun juga mengalaminya,” ungkapnya.
Kepala Dinas PSDA-ESDM Agus Riyanto menjelaskan untuk saat ini rekayasa teknik sedang dilakukan sebagai salah satu solusi untuk mengurangi banjir dan rob.
Pada 2012 pihaknya akan melakukan pengerukan Kali Semarang mulai dari Jl Dr Sutomo sampai kawasan Jembatan Mberok. Selain itu pula kolam panjang Kali Baru pun akan dibuka supaya airnya bisa menyatu dengan Kali Semarang.
Baru kemudian aliran di sungai itu akan dibuang ke Kali Asin yang akan ditampung oleh kolam retensi. ”Ini program kita supaya rob dan banjjir bisa teratasi,” kata Agus. 
suaramerdeka.com

blogger templates 3 columns | Make Money Online